Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah hampir 2 juta km2 dan berpenduduk lebih 206 juta jiwa pada tahun 2000, memiliki potensi sumberdaya alam baik di laut dan di darat yang sangat besar. Di laut, Indonesia memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Berikut ini merupakan sejarah perkembangan perikanan di Indonesia.
1. Peradaban Kuno
Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Zaman Mesolitikum
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa).
Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Zaman Neolitikum
Periode Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai Wajak hidup secara promitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia Wajak adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah Wajak, Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang paling arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya melahirkan populasi aktual Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan tahun silan oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah timur Indonesia.
Sejarah Ekonomi Perikanan Abad Ke 15 Dan 16 ( Etnis Bajo, Bajini )
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe).
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya.
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia.
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah.
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia.
2. 1400an-1600an: “Age of Commerce”
Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi. Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
3. 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram
2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman,
3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan. Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.
4. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama : Pertarungan Politik
Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya, konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Data yang dilaporkan Krisnandhi dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.
5. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan
Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu:
1) introduksi trawl dan purse seine,
2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama.
Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
6. Pasca Reformasi : Harapan menjadi “Prime Mover”
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.
7. Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Abad Ke 20
Pada abad ke 20, perairan Indonesia memiliki tidak kurang dari 1.500 sampai 2.000 jenis ikan, khususnya Laut Jawa mempunyai potensi; yaitu 738,320 ton/tahun untuk ikan demersal dan 624,840 ton/tahun untuk ikan pelagic. Oleh karena itu, di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura sudah lama dikenal daerah-daerah yang mempunyai banyak ikan, dengan beraneka jenis.Di samping kekayaan ikan, aneka biotik laut dan lingkungan alam juga menjadi faktor yang turut menentukan berlangsungnya usaha penangkapan. Bahwa pantai utara Jawa dengan pantai yang landai, berlumpur, banyak muara sungai, menjadikan banyak tempat di sepanjang pantai dapat digunakan sebagai tempat pendaratan ikan.
Demikian juga dengan dua angin muson yang berlangsung secara teratur dalam setiap tahunnya, menjadikan nelayan di kawasan ini sudah sejak lama meng gunakan perahu yang dilengkapi dengan berbagai macam alat tangka.
*(diajukan dan ditulis ketika saya harus mengerjakan tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Perikanan)
*untu referensinya maaf saya tidak cantumkan,, karena saya lupa lagi,,, heheheh,,, mhoon maaf dan selamat membaca..